Pada tanggal 20 September 2012, di Gedung Serbaguna Kemenag Kabupaten Kediri telah dilakukan sosialisasi Beban Kerja Guru yang dihadiri oleh Ketua IGRA, Ketua KKM, Ketua dan Sekretaris KKG PAI. Secara umum seluruh materi disampaikan oleh Kasi Mapenda didampingi dua Pengawas. Praktis kedua pengawas hanya sebagai pendamping (mungkin antisipasi apabila ada pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Bapak Kasi). Materi yang disampaikan seputar bahsul masail beban kerja guru yang relevansinya dengan pencairan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP).
Ada beberapa permasalahan menurut hemat penulis yang seharusnya dikonfirmasikan kepada yang berwenang untuk menjawabnya sebagai bentuk kehati-hatian dan mengayomi Guru karena dapat berakibat terjadi sebuah kesalahan implementasi terhadap sebuah peraturan. Alhasil, penafsiran semestinya tidak dilakukan oleh pelaksana kebijakan sepanjang ada kemungkinan untuk dikonfirmasikan ke pihak yang berwenang atau terkait.
PERTANYAAN BESARNYA ADALAH: APAKAH ADA RUANG "IJTIHAD" dalam mengimplementasikan sebuah peraturan dalam bernegara. Kalau ada siapa yang memiliki HAK dan KEWENANGAN untuk melakukannya. Apakah Eksekutif, Yudikatif, Legislatif atau semua pihak. Kalau TIDAK ADA? .....Bagaimana menyikapi perbedaan implementasi Regulasi di kenyataan..?
Hal ini penting dipertanyakan karena sering terdapat perbedaan implementasi peraturan atau pedoman antar Kabupaten dalam satu wilayah provinsi, dalam salah satu kasus ini adalah mengenai persyaratan pencairan TPP. Selain perbedaan aplikasi administrasinya juga prinsip boleh dan tidaknya atau memenuhi syarat dan tidaknya seorang guru untuk dicairkan TPPnya.
Berikut ini sebagian masalah yang terdapat perbedaan implementasi yang berakibat TPP beberapa Guru tidak dicairkan:
1. Sertifikat Mapel yang menjadi bagian Guru Kelas (BI, MM, IPA, PKn, IPS) di tingkat MI
2. Golongan II bagi PNS yang sudah disertifikasi
3. Tugas tambahan Kepala
Pertanyaan kami adalah: kenapa dalam wilayah DIPA yang sama terdapat perbedaan implementasi? Tidakkah hal ini dikonfirmasikan atau dimintakan fatwa ke pihak berwenang agar terdapat dasar yang kongkrit bukan sekedar (maaf) "gathuk-gathukne" peraturan tanpa didasari kompetensi di bidang itu, coba apakah kita memiliki staf bidang hukum di kab/prop?
Contoh pada Materi Sosialisasi poin 14: Tugas tambahan kepala yang diampu oleh PNS atas penetapan Yayasan di lembaga swasta, tetapi yang bersangkutan belum golongan III/c TIDAK DIAKUI EKUIVALENSInya. Fatwa hukum di TANYA JAWAB Mapenda begini:
14. PNS yang menjadi kepala madrasah tapi bukan difinitif (diangkat yayasan) apakah
dihitung ekwifalen?
JAWAB
- Ya. Asalkan ada laporan ke Kemenag dan memenuhi standar, yaitu
:
a. Pendidikan : S1,
b. Masa kerja min
5 tahun
c.
Pangkat minimal IIIc
Kejanggalannya:
- Tidak menyebutkan dasar hukum (tapi maksudnya mungkin Permendiknas 13/2007)
- Dalam Permendiknas 13/2007 dipertegas Peremendiknas 28/2010 syarat umum kepala bukan Masa Kerja tetapi pengalaman mengajar selama 5 tahun. Ini dua hal yang berbeda.
- Dalam Permendiknas 28/2010 persyaratan umum menjadi kepala bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing. Bagaimana tugas tambahan Kepala bagi Guru Non PNS, apabila ternyata SK Inpassing keluar per tanggal 1 April 2012 atau 1 Oktober 2012 atau tidak pernah keluar? Ternyata golongan belum III/c? Apakah mengembalikan yang sudah dicairkan? Kebiasaan pelaksana peraturan RUMUSNYA adalah TIDAK BERANI MELAKSANAKAN HAL YANG BELUM DIATUR...hayo gimana.... Karena hasil inpassing belum jelas ...... Tapi faktanya untuk Kepala Non PNS sudah berani mengambil kebijakan berbeda dari PNS
Dari kasus ini kesimpulan kami bahwa:
- Standar kepala sekolah/madrasah berlaku bukan hanya untuk PNS tetapi juga Non PNS kecuali diatur lain oleh regulasi khusus. Jika tugas tambahan sebagai Kepala harus memenuhi Standar, maka hal ini harus diberlakukan bagi siapapun yang menjadi Kepala, baik PNS maupun Non PNS.
- Materi sosialisasi beban kerja Guru (silakan download di sini) sebagian point masih bersifat tafsir/ijtihad lokal.
- Pelaksana kebijakan lebih cenderung cari aman dari permasalahan hukum daripada mencari solusi yang bersifat final atas dasar hukum
- Masih terdapat sebagian Guru kurang mengerti mengenai regulasi tentang Guru secara umum lebih-lebih soal regulasi pencairan TPP (setidaknya dinilai dari pertanyaan lisan ketika sosialisasi).
- Fakta dan regulasi masih banyak yang kontradiktif, bahkan regulasi dengan regulasi juga demikian.
Terimakasih mohon maaf. Kesalahan silakan koreksi ke email psm-merak@gmail.com